Soroti Izin Perusahaan yang Nakal di Ketapang, LAKI : Lahan Jadi Konflik, Siapa Tanggung Jawab?
METROKALBAR, Ketapang – Komisi III DPRD Ketapang diminta untuk melakukan pemeriksaan mendalam terhadap Izin perusahan perkebunan dan pertambangan yang beroperasi di wilayah Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, mulai HGU, IU Perkebunan,HPH, Izin Usaha Pertambangan, industri tanpa pandang bulu.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Laskar Anti Korupsi ( LAKI) Ketapang, Ujang Yandi kepada media ini, Selasa (12/10/25). Dia menduga penerbitan izin perusahaan itu tidak sesuai prosedur, karena kerap terjadi konflik lahan dengan masyarakat.
Menurutnya, sudah selayaknya DPRD setempat untuk segera mengambil langkah tegas terhadap perusahaan yang beroperasi di wilayah Ketapang. Periksa dan kaji ulang penerbitan izin perusahaan sawit maupun tambang.
“Wajib diperiksa ulang, harap kepada DPRD untuk mendorong di bentuknya pansus, karena ada indikasi permainan perusahaan yang nakal dalam proses penerbitan izin, terutama izin tambang yang tidak prosedural dan terjadi konflik di masyarakat,” katanya.
Ujang Yandi juga meminta agar perizinan perkebunan dan pertambangan tambang dikaji ulang. Hal itu, kata dia, guna memastikan bahwa kegiatan perusahaan kebun dan pertambangan memiliki izin yang diterbitkan sesuai prosedur yang benar, baik HGU, IUP maupun AMDAL nya.
Kondisi itu menimbulkan tanda tanya terhadap komitmen perusahaan tersebut dalam menjalankan izin yang sudah dipegang. Apakah Izin itu masuk dalam kawasan hutan lindung atau tidak..?
Ia juga meminta kepada Pemerintah dan dalam hal ini juga kepada komisi III DPRD Ketapang untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap izin perusahaan – perusahaan yang nakal tersebut.

Sebab izin perusahaan itu sebutnya, bukan sekadar dokumen administratif. Tapi ada tanggung jawab moral dan sosial di dalamnya. Ia juga menyesalkan kurangnya keterbukaan luas izin perusahaan yang sudah ditentukan.
Sehingga masyarakat di sekitar wilayah yang masuk dalam peta izin banyak tidak mengetahui.
Soroti izin PT SPI dan PT Tri Sigma di Pesaguan
Selain mempertanyakan keterbukaan izin, Wakil Ketua DPC LAKI Ketapang itu juga menyoroti izin PT SPI dan PT Tri Sigma. Perusahaan tambang yang beroperasi di Desa Pesaguan Kiri, Kecamatan Matan Hilir Selatan ini lagi dalam perbincangan di kalangan masyarakat. Hal itu menyusul adanya perusakan Makam Keramat oleh aktivitas perusahaan.
Perusahaan ini di kabarkan diduga menggarap wilayah pesisir pantai di kawasan hutan mangrove, tentu ini menjadi pertanyaan besar di masyarakat, mengapa bisa sampai terjadi., atau ada dugaan pemanfaatan perusahaan untuk kepentingan ekonomi dan politik para elit.
Menurutnya, jika itu terjadi dapat menimbulkan ketegangan sosial dan berpotensi merusak tata kelola sumber daya alam di daerah ini.
Ia meminta Pemerintah Pusat dan Daerah, membuka data secara transparan mengenai status dan aktivitas perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah tersebut.
Pihaknya tidak menolak kehadiran investor, hanya saja meminta kejelasan dan keadilan dalam mengelola sumber daya alam.
“Kita tidak menolak investasi, tapi hormatilah kearifan lokal dan budaya. kita juga menolak dugaan praktik izin gelap yang hanya menguntungkan segelintir orang,” pungkasnya.
Hamparan Hutan Mangrove dan Makam Leluhur, Keramat
Hamparan hutan mangrove yang hijau, kini berubah menjadi hamparan tanah yang basah oleh lumpur. Tiga unit alat berat perusahaan merobek di kawasan muara Parit Kungsi, Desa Pesaguan Kiri, Kecamatan Matan Hilir Selatan.
Aktivitas di kawasan ini, membuat warga menilai bukan sekadar perusakan ekologis saja, melainkan menambah ingatan kolektif bagi mereka. Dimana makam-makam keramat yang selama puluhan tahun itu menjadi tempat ziarah, kini patah dan hangus.
Laporan ini menyusun kronologi, dimana ditemukan bukti lapangan dan implikasi hukum-sosial dari aktivitas yang berlangsung selama beberapa pekan terakhir, ketika dokumen formal tak tampak dan komunikasi publik nihil.
Lembaran pertama: kronologi yang berulang
Pantauan media di lapangan pada Sabtu, 6 Agustus 2025 menunjukkan alat berat aktif meratakan lahan hutan mangrove di kawasan hutan pesisir tanpa papan proyek atau petugas yang bisa dimintai penjelasan.
Dari keterangan warga sekitar, bahwa aktivitas tersebut sudah berlangsung “beberapa pekan.” Namun, puncak gesekan terjadi pada Jumat, 3 Oktober 2025, ketika sejumlah warga melaporkan kerusakan makam keramat di sekitar Parit Kungsi: empat kuburan disebut “dilindas,” satu nisan semen patah, dan nisannya yang berbahan kayu belian peninggalan berlatar sejarah lokal terbakar.
Dalam tempo yang sama, warga memasang himbauan di dermaga dan melakukan aksi pemortalan sebagai bentuk pencegahan agar alat berat perusahaan tidak lewat.
Tujuannya untuk menjaga kelestarian hutan mangrove dan kawasan makam leluhur mereka dari aktivitas perusahaan tambang itu.
Protes ini memunculkan mediasi antara pihak warga dan perusahaan menurut sumber warga, mediasi masih alot dan belum menghasilkan kesepakatan yang jelas.
Buntut Protes, Perusahaan laporkan warga Ke Polisi
Berapa warga Desa Pesaguan Kiri, Kecamatan Matan Hilir Selatan, kini menghadapi tekanan hukum usai dilaporkan oleh pihak perusahaan PT SPI dan PT Tri Sigma ke polisi.
Laporan itu dilayangkan sebelum delapan orang warga di panggil ke Polres Ketapang sebagai klarifikasi perkara pada Rabu 08 Oktober 2025, pemanggilan buntut dari aksi protes warga yang menutup akses perusahaan dan pemasangan sepanduk peringatan di Parit Kungsi.
Aksi protes oleh warga itu diketahui sudah berlangsung sejak 29 September 2025. Bermula karena adanya kerusakan makam keramat dan kuburan nisan kayu leluhur mereka terbakar akibat aktivitas perusahaan.
Adapun warga yang dilaporkan oleh pihak perusahaan ke Polres Ketapang, atas dugaan tindak pidana merintangi atau mengganggu kegiatan usaha perusahaan sebagai pemegang izin pertambangan yang memenuhi syarat.
Warga Desa Pesaguan Kiri mengatakan, bahwa pemanggilan warga di Polres Ketapang imbas aksi Protes ke perusahaan tambang. Total ada delapan orang yang dipanggil untuk dimintai klarifikasi.
“Pemeriksaan ini diduga merupakan buntut dari aksi protes warga yang meminta pertanggung jawaban atas rusaknya kuburan Keramat dan kuburan leluhur oleh perusahaan tambang di daerah kami,” kata warga yang enggan disebut namanya.
Mangrove: lebih dari sekadar pohon pinggir laut
Mangrove bukan sekadar vegetasi: ia menjadi benteng alami dari abrasi, nursery bagi ikan, penyangga karbon, dan elemen penting mata pencaharian nelayan tradisional. Rahman (47), nelayan lokal, merangkum kekhawatiran itu sederhana namun tajam: “Kalau begini terus, kami kehilangan laut tempat cari ikan.”ucapnya.
Kehilangan mangrove berdampak langsung: penurunan stok ikan, kerentanan garis pantai terhadap gelombang besar, dan hilangnya fungsi filtrasi air yang melindungi kualitas ekosistem pesisir.
Kuburan dan kearifan lokal: luka yang tak terukur pakai uang
Di antara tenda-tenda mediasi dan spanduk protes, ada klaim yang tak mudah dihitung dalam neraca ekonomi: penghancuran makam-makam keramat.
Warga menjelaskan makam-makam itu adalah situs bersejarah lokal tempat ziarah dan tonggak identitas komunitas yang mendahului proyek industri. Nisan kayu belian yang hangus dan nisan semen yang patah tidak sekadar benda; mereka adalah hubungan generasi.
Sikap warga menunjukkan bahwa konflik lingkungan sering kali beralih menjadi konflik budaya ketika lokasi sakral diganggu tanpa proses komunikasi dan penghormatan adat.
Apakah prosedur formal dilanggar? Indikator kuat: tidak ada AMDAL dan sosialisasi
Secara peraturan, setiap kegiatan yang menyentuh kawasan mangrove dan pesisir seharusnya melalui rangkaian izin dan kajian termasuk AMDAL yang dipublikasikan, izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bila menyentuh kawasan lindung, dan sosialisasi publik.
Hasil pemeriksaan awal di lapangan menunjukkan tidak ada tanda-tanda publikasi dokumen lingkungan ataupun papan proyek. Warga juga tak pernah dipanggil untuk sosialisasi.
Ketiadaan ini bukan sekadar kelalaian administratif: ia membuka pertanyaan hukum dan akuntabilitas. Jika benar tidak ada izin, aktivitas itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran lingkungan yang berpotensi berujung sanksi administratif atau pidana bagi pelaku.
Modus yang mengulang: pola pembersihan sebelum papan proyek
Wawancara dengan beberapa pegiat lingkungan di Ketapang (nama tak dipublikasikan di bagian ini untuk keselamatan sumber) menegaskan pola semacam ini, bukan hal baru: pembersihan lahan dengan alat berat terlebih dahulu, pemasangan papan proyek belakangan bila sama sekali dipasang dan sosialisasi formal yang datang setelah realitas lapangan berubah. Pola ini mempersulit masyarakat untuk menuntut haknya sebelum kerusakan terjadi.
Mediasi namun tak ada hasil siapa yang harus bertanggung jawab?
Menurut warga, tuntutan mereka sederhana: perusahaan harus melakukan sosialisasi terbuka, memberikan kompensasi bila perlu, menyusun rencana pemulihan lingkungan (termasuk penanaman kembali mangrove dua kali lipat), dan menghormati situs keramat. Namun, mediasi belum menemui titik temu.
Pemerintah daerah juga hingga berita ini diterbitkan belum mengeluarkan pernyataan resmi. Ketiadaan respons membuka pertanyaan penting: apakah pengawasan lingkungan di daerah ini berjalan efektif? Siapa yang seharusnya mengintervensi ketika hak atas lingkungan dan warisan budaya terancam?
Ketidaktransparanan Perusahaan
Kasus yang terjadi di Desa Pesaguan Kiri mencerminkan penyakit struktural: ketika investasi dan ekspansi industri bertemu ruang publik yang kurang tahan terhadap praktik “bersih tapi cepat”, mangrove pun menderita, nelayan kehilangan mata pencaharian, dan memori budaya tergerus.
Ketiadaan papan proyek dan dokumen yang jelas bukan sekadar masalah administrati. Ia adalah indikator lemahnya tata kelola yang menyatukan ekologis, sosial, dan budaya.
Investigasi ini membuka banyak pertanyaan yang menunggu jawaban: siapa penanggung jawab proyek, apakah ada izin yang sah, dan bagaimana pemerintah daerah akan merespons tuntutan warga? Sampai jawaban itu datang, muara Parit Kungsi tetap menjadi garis pertempuran antara mesin dan memorinya.
Sampai berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pihak perusahaan terkait tersebut. Media ini coba mengkonfirmasi ke Direktur PT SPI, Yudha melalui WhatsApp. Namun, Ia menjawab akan mengecek ke lapangan. “Saya coba cek ke lapangan pak.” Jawab Yudha dengan singkat. Pada Minggu (5/10/25).
