Munculnya Ormas ARUN dan Fakta di Balik Konflik Lahan Teluk Bayur
METROKALBAR, Ketapang – Konflik lahan antara sekelompok warga dengan perusahaan perkebunan PT. PTS di Desa Teluk Bayur, Kecamatan Sungai Laur, Kabupaten Ketapang, ternyata memiliki akar persoalan yang jauh lebih sempit dari yang selama ini digembar-gemborkan.
Hasil investigasi lapangan Tim Jurnalis menemukan bahwa konflik ini sebenarnya hanya berawal dari 13 warga yang mengaku belum menerima Ganti Rugi Tanah Tanam Tumbuh (GRTT) sejak perusahaan mulai beroperasi, bukan dari keseluruhan masyarakat desa sebagaimana diklaim oleh pihak tertentu.
Namun situasi berubah drastis sejak munculnya Ormas Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN) yang masuk dengan membawa narasi pembelaan terhadap masyarakat.
ARUN yang mengatasnamakan perjuangan rakyat justru diduga menunggangi kepentingan segelintir warga yang tidak memahami duduk perkara sebenarnya.
Akibatnya, ratusan warga terseret dalam aksi pendudukan kebun milik perusahaan tanpa kejelasan hukum. Tindakan ini tidak hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga mengganggu aktivitas produksi, memicu konflik horizontal, serta mengancam iklim investasi di Ketapang.
Perusahaan Dinilai Sudah Penuhi Kewajiban dan Berkontribusi Nyata
Temuan investigasi menunjukkan bahwa PT. PTS selama ini telah menjalankan kewajiban sosial, hukum, dan administratifnya dengan baik. Perusahaan telah menyalurkan GRTT, melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR), memberikan Tunjangan Kompensasi Desa (TKD), serta berperan aktif membangun infrastruktur desa seperti irigasi, listrik, dan air bersih.

“Perusahaan sudah bantu banyak hal, mulai dari pendidikan, kesehatan, bahkan kegiatan keagamaan. Mereka juga menyalurkan TKD ke kas desa sampai Rp400 juta sejak 2020,” ujar seorang perangkat desa yang enggan disebut namanya.
Pernyataan itu sekaligus membantah tudingan sepihak yang disampaikan oleh Kepala Desa di hadapan Komisi III DPR RI, yang menyebut bahwa desa tidak pernah menerima TKD dari perusahaan.
“Pernyataan itu tidak benar. Laporannya jelas ada di kas desa,” tegas perangkat desa tersebut.
Provokasi dan Politisasi Konflik
Sejumlah warga dan tokoh masyarakat mengungkapkan bahwa situasi mulai memanas setelah ARUN melakukan serangkaian kegiatan yang disebut “investigasi”, namun justru disertai pengumpulan dana secara patungan dari warga untuk setiap kegiatan.
Modus tersebut berlangsung berkepanjangan mulai dari pengumpulan data, rapat-rapat yang mengatasnamakan masyarakat, hingga membawa isu tersebut ke tingkat pusat.
“Masalahnya hanya 13 orang, tapi karena ARUN datang dan mengatasnamakan seluruh warga, akhirnya semua ikut. Mereka diprovokasi untuk duduk di kebun tanpa arah yang jelas,” ungkap salah satu tokoh masyarakat Teluk Bayur.
Warga lain menambahkan, “Kalau ARUN benar-benar memperjuangkan rakyat, mereka harusnya menempuh jalur hukum, bukan menggerakkan massa. Sekarang masyarakat sudah capek, tidak tahu apa ujungnya.” ungkapnya.
Kajian Hukum: Pendudukan Lahan Tanpa HGU Bukan Alasan Hukum
Praktisi hukum Jakaria Irawan, S.H., M.H. menilai tindakan pendudukan lahan perusahaan, dengan alasan perusahaan belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU), tetap tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Menurutnya, persoalan administrasi pertanahan seperti HGU adalah ranah pemerintah dan penegak hukum, bukan masyarakat atau ormas.
“Kalau memang perusahaan belum memiliki HGU, itu urusan hukum administrasi. Pemerintah dan BPN yang berwenang menertibkan. Masyarakat tidak boleh mengambil tindakan sepihak, apalagi menduduki lahan,” tegas Jakaria.
Ia menjelaskan, tindakan pendudukan tanah tanpa hak dapat dijerat dengan Pasal 167 dan Pasal 385 KUHP tentang penyerobotan lahan, serta Pasal 55 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang melarang tindakan yang mengganggu atau merusak usaha perkebunan.
“Pendudukan kebun tidak ada urgensinya. Justru menimbulkan kerugian bagi warga lain yang menggantungkan hidupnya di perusahaan. Buruh, pedagang buah, dan pemasok sawit ikut terdampak,” ujarnya.
Jakaria juga menegaskan bahwa ormas yang mengaku membela rakyat seharusnya menunjukkan integritas dan kecerdasan hukum.
“Kalau mereka lembaga yang besar dan berwibawa, gunakan cara konstitusional dan elegan. Jangan provokasi masyarakat untuk aksi ilegal. Itu hanya menambah korban,” pungkasnya.
Kontribusi Sosial Perusahaan dan Dampak Provokasi
Selama beroperasi di Teluk Bayur, PT. PTS telah memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat, di antaranya:
Pendidikan: Bantuan fasilitas sekolah dan program beasiswa.
Kesehatan: Dukungan posyandu, pengobatan gratis, dan kegiatan sosial.
Keagamaan: Bantuan pembangunan rumah ibadah dan kegiatan keagamaan.
Listrik & Air Bersih: Penyediaan fasilitas bagi warga sekitar.
Pemberdayaan Ekonomi: Program CSR dan dukungan bagi petani lokal.
Namun kondisi sosial yang tadinya harmonis kini terguncang akibat provokasi dan penyebaran informasi yang tidak akurat.
“Kami khawatir masyarakat jadi terpecah. Perusahaan selama ini membantu banyak hal, tapi karena provokasi dari luar, semua jadi rusak,” kata seorang tokoh masyarakat yang prihatin atas situasi tersebut.
Hasil investigasi lapangan Tim Redaksi memperlihatkan bahwa konflik di Teluk Bayur bukanlah konflik agraria murni, melainkan konflik yang dimanipulasi untuk kepentingan kelompok tertentu.
Akar persoalan hanya berasal dari 13 warga, namun persoalan diperbesar dengan narasi pembelaan rakyat.
Tindakan pendudukan kebun tanpa dasar hukum telah menimbulkan kerugian sosial, ekonomi, dan hukum, sekaligus mengancam iklim investasi di Ketapang.
Penyelesaian konflik seharusnya dilakukan melalui mekanisme hukum dan kewenangan pemerintah, bukan lewat aksi sepihak yang justru memecah belah masyarakat.
