Konflik Lahan di Marau: Advokasi yang Berujung Provokasi
METROKALBAR, Ketapang — Di balik pekatnya kabut sawit di Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang, tersimpan kisah getir tentang bagaimana sebuah konflik kecil di desa bisa membesar menjadi polemik berkepanjangan.
Semua bermula dari klaim segelintir orang, berkembang lewat isu ketidakadilan, lalu meledak menjadi gerakan “pembelaan rakyat” yang dikendalikan oleh kepentingan tersembunyi.
Kisah ini terjadi di Desa Pelanjau Jaya dan Desa Sukakarya, dua wilayah penghasil sawit yang kini terbelah akibat konflik lahan dengan perusahaan perkebunan PT SNP dan PT BAL (Minamas Group).
Di permukaan, narasinya terdengar klasik: masyarakat menuntut ganti rugi tanah yang disebut belum dibayar perusahaan. Namun hasil investigasi menunjukkan akar persoalannya jauh lebih sempit dari isu yang digembar-gemborkan para penggerak di lapangan.
Akar Masalah: Konflik Keluarga yang Diperluas Menjadi Gerakan Rakyat
Konflik bermula dari keluarga besar Mukip dan Sekisun, pasangan suami-istri asal Desa Pelanjau Jaya. Bersama beberapa kerabat dekat, adik, kakak, hingga sepupu, mereka mengaku belum menerima Ganti Rugi Tanah dan Tanaman (GRTT) atas lahan yang kini dikelola perusahaan.
Namun, klaim tersebut tidak disertai bukti hukum yang kuat. Meski begitu, narasi ini meluas seolah mewakili seluruh warga desa. Padahal, sebagian besar masyarakat Pelanjau Jaya justru sudah menerima kompensasi, bekerja di perusahaan, atau menjadi petani plasma yang menikmati hasil kemitraan.
Di Desa Sukakarya, cerita hampir serupa datang dari Silvanus Gudag, warga asal Desa Batu Menang. Ia menuding lahannya diambil tanpa ganti rugi, meskipun sebelumnya tercatat pernah bekerja di perusahaan tersebut.
Sejatinya, kedua kasus ini dapat diselesaikan secara hukum. Namun arah penyelesaian berubah ketika berbagai kelompok eksternal mulai masuk, membawa agenda masing-masing.
Di Pelanjau Jaya sendiri bahkan muncul dua kubu masyarakat yang saling mengklaim berjuang untuk rakyat.
Satu kelompok dipimpin Mukip dan Sekisun, yang fokus menyerang PT BAL. Sementara kelompok lain dikendalikan oleh Kepala Desa Pelanjau Jaya, Lukas Perno, yang menurut sejumlah warga, memiliki motif tersendiri: ingin menguasai Koperasi Binjai Jaya, koperasi yang selama ini menjadi mitra perusahaan.
ARUN Masuk dengan Jargonnya
Mengusung nama Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN), organisasi ini datang dengan jargon membela rakyat tertindas. Mereka menggelar pertemuan, menyebar selebaran, dan membangun opini bahwa perusahaan menolak membayar hak masyarakat.
Kedatangan ARUN awalnya disambut harapan baru. Namun bagi mereka yang memahami duduk perkara sebenarnya, langkah ini justru memunculkan tanda tanya besar.
Investigasi lapangan memperlihatkan pola yang seragam dan sistematis. ARUN menggelar rapat-rapat “investigasi”, mengumpulkan data, dan mendorong warga untuk “bersatu melawan perusahaan”. Namun di balik itu, muncul praktik pengumpulan dana patungan dari warga, dengan alasan untuk biaya advokasi dan logistik kegiatan.
Beberapa warga mengaku, total dana yang terkumpul telah mencapai sekitar Rp400 juta, mencakup biaya operasional, biaya publikasi media, akomodasi, biaya menuju RDPU di DPR RI dan honor personal ARUN.
“Masalahnya cuma dari segelintir orang. Tapi karena ARUN datang dan mengatasnamakan seluruh warga, akhirnya semua ikut. Mereka diprovokasi untuk duduk di kebun tanpa tahu arah dan dasar hukumnya,” ungkap seorang tokoh masyarakat Pelanjau Jaya kepada tim investigasi.
Bahkan, terungkap pula bahwa ARUN kerap menyudutkan tokoh desa dan mantan kepala desa yang tidak sejalan dengan narasi mereka. Tuduhan dan fitnah menjadi senjata, menggiring warga untuk percaya bahwa siapa pun yang berbeda sikap adalah “antek perusahaan”.
“Kalau mereka betul-betul advokat rakyat, harusnya tempuh jalur hukum, bukan gerakkan massa. Sekarang warga sudah bingung, capek, dan tak tahu apa ujungnya,” ujar warga lainnya dengan nada kecewa.
Janji Dibawa ke Pusat: Harapan yang Berujung Buntu
Dalam upayanya memperluas dukungan, ARUN juga menjanjikan bahwa persoalan Pelanjau Jaya dan Sukakarya akan dibawa hingga ke tingkat pusat.
Masyarakat diiming-imingi bahwa konflik ini akan mendapat perhatian nasional setelah dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi III DPR RI. Namun kenyataannya, langkah itu tidak membawa hasil apa pun.
Menurut praktisi hukum Jakaria Irawan, S.H., M.H., rapat di DPR RI bukan forum pengambil kebijakan atau pemberi putusan.
“DPR RI hanya menghasilkan rekomendasi, bukan keputusan hukum. Dan pada akhirnya, rekomendasi itu pun dikembalikan kepada pemerintah daerah serta aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti,” tegas Jakaria.
Ia menilai langkah membawa persoalan ini ke DPR RI hanya menjadi bagian dari strategi membangun opini, bukan solusi nyata.
“Kalau penyelesaiannya tidak berlandaskan dasar hukum yang kuat, dan tidak ditempuh lewat jalur konstitusional, maka persoalan akan terus berlarut tanpa ujung. Yang ada hanya harapan semu dan konflik yang makin melebar,” ujarnya menegaskan.
Perusahaan Dinilai Patuh dan Berkontribusi
Bertolak belakang dengan tudingan ARUN, hasil penelusuran memperlihatkan bahwa PT Minamas Group dan anak perusahaannya justru menjalankan kewajiban hukum dan sosial secara konsisten.
Perusahaan telah menyalurkan GRTT, menjalankan program CSR (Corporate Social Responsibility), memberikan Tunjangan Kompensasi Desa (TKD), serta berperan aktif dalam membangun infrastruktur desa. Warga lokal juga mendapat prioritas kerja dan kemitraan dalam pola plasma.
“Perusahaan ini tidak lari dari tanggung jawab. Mereka aktif membantu desa. Tapi karena isu provokatif dari luar, masyarakat jadi curiga dan terbelah,” tutur seorang tokoh agama Desa Sukakarya.
Kajian Hukum: Pendudukan Kebun Tanpa Dasar Legal
Jakaria Irawan menegaskan, aksi pendudukan kebun yang dimotori ARUN adalah tindakan ilegal.
“Alasan perusahaan belum memiliki HGU tidak bisa dijadikan dasar masyarakat untuk mengambil alih lahan. Itu ranah pemerintah dan BPN, bukan masyarakat,” tegasnya.
Tindakan itu, lanjutnya, dapat dijerat Pasal 167 dan 385 KUHP tentang penyerobotan lahan, serta Pasal 55 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
“Yang rugi bukan cuma perusahaan, tapi juga masyarakat lain, buruh, pedagang buah, petani plasma yang menggantungkan hidup dari kebun itu,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menilai ormas seperti ARUN seharusnya menjadi penengah, bukan pemantik konflik.
“Kalau lembaga yang hebat dan berwibawa, gunakan cara konstitusional dan elegan. Bukan provokasi. Itu bukan advokasi, tapi agitasi,” tandasnya.
Ketika Harmoni Sosial Dirusak oleh Ambisi
Kini, masyarakat Pelanjau Jaya dan Sukakarya hidup dalam ketidakpastian. Sebagian masih percaya pada janji penyelesaian ARUN, sebagian lain memilih diam karena lelah.
Perusahaan terus beroperasi di bawah tekanan opini, sementara hubungan sosial antar warga retak.
“Kami khawatir masyarakat semakin terpecah. Perusahaan sudah banyak membantu, tapi gara-gara provokasi dari luar, hubungan yang tadinya harmonis jadi rusak,” kata seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.
Manipulasi Konflik Demi Kepentingan Kelompok
Hasil investigasi memperlihatkan, konflik lahan di Marau bukanlah konflik agraria murni, melainkan konflik yang dimanipulasi untuk kepentingan segelintir pihak.
Akar masalahnya berasal dari keluarga kecil, tetapi diperbesar dan dipolitisasi dengan narasi “perjuangan rakyat tertindas”.
Akibatnya, pendudukan kebun tanpa dasar hukum tak hanya menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi, tetapi juga mengancam iklim investasi dan stabilitas sosial di Kabupaten Ketapang.
Refleksi: Advokasi tampa Kejujuran
Satu pelajaran penting bisa dipetik dari kisah ini: advokasi tanpa kejujuran akan melahirkan provokasi, dan pembelaan tanpa dasar hukum hanya akan memecah rakyat yang semula hidup rukun.
Konflik Pelanjau Jaya dan Sukakarya seharusnya menjadi cermin bagi semua pihak pemerintah, perusahaan, dan organisasi masyarakat sipil bahwa penyelesaian konflik agraria tidak bisa diserahkan pada ormas yang membawa agenda tersembunyi.
Sebab di balik bendera “perjuangan rakyat”, sering kali tersembunyi ambisi pribadi dan kepentingan politik yang justru menjauhkan masyarakat dari keadilan yang sejati.






